Elegi Industri Radio: Dari Telinga ke Telinga, Kini ke Persimpangan Digital menjadi refleksi perjalanan panjang sebuah medium yang pernah berjaya. Radio, yang dahulu menjadi sahabat setia masyarakat dari pagi hingga malam, kini berdiri di persimpangan besar. Di tengah gempuran streaming musik, podcast, dan media sosial, radio ditantang untuk membuktikan apakah ia masih relevan atau hanya tinggal kenangan.
Di sebuah sudut metropolis yang hiruk-pikuk, yang entah mengapa masih mengakui keberadaan hal yang satu ini, mari kita bicara tentang sebuah fenomena yang, sungguh, lebih langka dari badai salju di khatulistiwa: Radio di Indonesia.
Selama ini, kita mendengarkan kisah-kisah tentang stasiun radio yang bertransformasi, yang beradaptasi, dan yang betapa ironisnya, berjuang untuk tetap relevan. Mereka mencoba melompat dari era kaset ke era digital, sebuah transisi yang lebih canggung daripada Gen Z mencoba memahami cara kerja telepon yang masih diputar.
Mereka memasang wajah ceria, memutar lagu yang sama untuk ke-sekian ratus kalinya, dan menyapa pendengar setia yang, mari kita jujur, mungkin satu-satunya yang masih menggunakan frekuensi analog di mobil mereka saat ini.
Ada waktu di mana radio adalah raja. Seorang penyiar bisa membuat seseorang jatuh cinta dengan suaranya, membius massa dengan kata-kata puitis, dan mempengaruhi selera musik satu generasi.
Sekarang, penyiar radio harus bersaing dengan TikTok viral yang berdurasi 15 detik, podcast yang jauh lebih mendalam (dan tidak diinterupsi oleh iklan minyak goreng), dan playlist Spotify yang bisa disesuaikan bahkan dengan suasana hati paling edgy sekalipun.

Radio telah mencoba segalanya. Mereka membuat acara talkshow yang membahas isu-isu kontroversial, hanya untuk menyadari bahwa warganet di Twitter sudah menyelesaikan perdebatan itu lima jam sebelumnya.
Mereka menyelenggarakan konser, hanya untuk melihat sebagian besar penonton lebih sibuk mengabadikan momen dengan smartphone daripada benar-benar menikmati musik. Mereka meluncurkan aplikasi, yang hanya diunduh oleh para staf dan keluarga dekat mereka. Sebuah upaya heroik yang, sayangnya, gagal total.
Maka, tulisan ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memberikan nasihat, sebuah tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang pernah berada di Industrinya. Menyerah itu bukan kekalahan, tapi strategi. Mungkin, ini saatnya untuk mengibarkan bendera putih digital, dan beralih ke arena pertempuran yang berbeda.
Baiklah, para pemilik stasiun radio yang terhormat, mari kita 放下 (fang xia -放下) atau melepaskan ilusi bahwa gelombang FM akan kembali menjadi primadona. Ingatkah kalian dengan Friendster? Betapa sombongnya mereka hingga akhirnya dilupakan begitu saja.
Jangan sampai nasib yang sama menimpa radio kesayangan Anda. Inilah beberapa gagasan brilian, yang mungkin awalnya terdengar seperti lelucon sarkastik, namun percayalah, di baliknya tersimpan potensi cuan yang lumayan, sebuah pemikiran untuk Exit Strategy :
1. Transformasi Menjadi Homeless Media
Lupakan studio mewah dengan peredam suara yang harganya selangit. Jual saja semua peralatan itu dan investasikan pada tenda-tenda stylish dan perlengkapan live streaming portabel. Para penyiar bisa melakukan siaran langsung dari berbagai lokasi—kafe kekinian, ruang publik, bahkan mungkin dari dalam mobil saat terkena macet (sekalian memberikan update lalu lintas yang lebih otentik). Konten bisa lebih guerilla, lebih dekat dengan pendengar (yang mungkin akan penasaran melihat penyiar favoritnya siaran sambil minum kopi di pinggir jalan). Ini bukan hanya hemat biaya, tapi juga memberikan citra indie dan rebellious yang—katakanlah—sedikit menarik bagi generasi Z yang mudah bosan.

2. Pivot Total Menjadi Perusahaan Event Organizer (EO) yang Mengkhususkan Diri pada Nostalgia
Sadarilah, kekuatan terbesar radio ada pada memori kolektif pendengarnya. Alih-alih terus memutar lagu-lagu baru yang belum tentu nempel, mengapa tidak sekalian saja membuat acara-acara yang membangkitkan kenangan? Konser musik era 90-an dengan line-up band-band yang dulu sering diputar di radio Anda? Lomba karaoke lagu-lagu melankolis tahun 2000-an? Seminar motivasi dengan tema “Cara Bertahan Hidup di Era Digital ala Anak Radio 90-an”? Jual nostalgia, karena itu adalah satu-satunya hal yang nilainya terus meningkat seiring berjalannya waktu. Dan jangan lupakan merchandise, kaus dengan logo stasiun radio jadul pasti akan laris manis di kalangan hipster yang belum lahir saat stasiun itu berjaya.

3. Diversifikasi ke Bisnis yang Lebih Niche dan Lokal
Daripada mencoba menjangkau semua orang dengan format yang generik, fokuslah pada komunitas yang lebih spesifik. Misalnya, jika stasiun Anda dulunya kuat di kalangan penggemar musik metal, buatlah platform atau komunitas online khusus untuk mereka. Selenggarakan gathering, jual merchandise band lokal, atau bahkan buka clothing line bertema metal. Atau, jika stasiun Anda sangat dikenal di daerah tertentu, jadilah hyperlocal media yang fokus pada berita dan informasi komunitas, bekerja sama dengan UMKM setempat, dan menyelenggarakan acara-acara komunitas. Jadilah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari pendengar Anda, bukan hanya sekadar suara latar belakang saat mereka menyetir.

4. Merambah Dunia Audiobook dan Narasi Digital Lokal
Kekuatan utama radio adalah suara dan bercerita. Manfaatkan aset ini untuk memproduksi audiobook karya penulis lokal, cerita pendek, atau bahkan narasi sejarah daerah. Gandeng para penyiar dengan suara khas Anda untuk menjadi narator. Ini adalah cara yang elegan untuk tetap relevan di era digital sekaligus melestarikan kekayaan literasi dan budaya lokal. Bayangkan, podcast drama radio dengan kualitas suara yang mumpuni, jauh lebih menarik daripada sekadar obrolan tanpa arah.

5. Membangun Agensi Influencer Marketing dengan Fokus pada Kepribadian Radio
Para penyiar radio, dengan suara dan karakter unik mereka, sebenarnya adalah influencer generasi awal. Manfaatkan personal brand mereka untuk membantu bisnis lokal mempromosikan produk dan layanan mereka. Buat campaign yang kreatif, yang memanfaatkan keakraban pendengar dengan para penyiar. Ini adalah cara untuk menghasilkan uang di luar iklan konvensional yang semakin ditinggalkan.
Tentu saja, transisi ini tidak akan mudah. Akan ada air mata, tawa (mungkin lebih banyak air mata), dan penyesalan karena tidak berinvestasi dan serius pada aplikasi digital radio sejak sepuluh tahun yang lalu.

Namun, di tengah badai disrupsi ini, selalu ada peluang bagi mereka yang berani berpikir di luar kotak atau lebih tepatnya, di luar gelombang radio. Ingatlah, bahkan burung phoenix pun harus terbakar terlebih dahulu sebelum bisa bangkit dari abu.
Jadi, bakar saja studio lama Anda (secara metaforis, tentu saja), dan mulailah membangun sesuatu yang baru. Siapa tahu, mungkin 10 tahun lagi, kita akan menulis artikel tentang kebangkitan epik mantan raja radio menjadi penguasa dunia media digital. Jangan sampai suatu saat baru tersadar dengan kalimat “I Told You So”.
Penulis : Pati Perkasa - Konsultan Media
Editor : Widi






