RadioGPT, teknologi kecerdasan buatan terbaru dari perusahaan media Futuri, telah menciptakan gebrakan besar di industri penyiaran. Diklaim sebagai penyiar radio pertama di dunia yang sepenuhnya dikendalikan oleh AI, alat ini mampu menulis naskah, membaca siaran dengan suara yang mirip manusia, bahkan menyebarkan konten ke berbagai platform digital secara otomatis.
Kehadiran RadioGPT mengundang pertanyaan mendalam: Apakah ini awal dari berakhirnya peran manusia di industri radio, atau hanya sekadar inovasi teknologi yang belum menyentuh esensi siaran?
AI Mengudara: Teknologi di Balik RadioGPT
RadioGPT bekerja dengan menggabungkan teknologi GPT (Generative Pre-trained Transformer), pemindaian tren real-time di media sosial, dan suara sintetis canggih. Dalam operasinya, RadioGPT dapat:
- Memindai berita dan tren terkini dari berbagai sumber
- Menulis naskah siaran secara otomatis
- Membacakan naskah menggunakan suara AI yang menyerupai manusia
- Meniru gaya penyiar radio tertentu
- Membuat konten untuk blog, Instagram Reels, dan YouTube Shorts
Tak hanya itu, teknologi ini bisa digunakan untuk mengisi satu segmen siaran atau bahkan seluruh stasiun radio, tanpa kehadiran manusia di studio.
Suara AI yang Terlalu Sempurna?
Futuri menawarkan contoh siaran langsung RadioGPT yang dapat diakses publik. Suara AI-nya terdengar mengejutkan realistis: artikulasi jelas, intonasi seimbang, tanpa jeda canggung seperti “eh” atau “hmm”.
Namun justru karena terlalu sempurna, sebagian pendengar merasa kurang ada kedalaman emosi dan spontanitas yang biasanya dimiliki penyiar manusia. AI memang bisa meniru gaya bicara, tetapi belum mampu menyampaikan pengalaman hidup, perasaan, atau refleksi pribadi—unsur yang membentuk hubungan emosional dengan pendengar.
Kekuatan Manusia dalam Siaran Radio
Siaran radio bukan hanya soal informasi atau hiburan, tetapi juga soal koneksi personal. Dalam survei yang dilakukan oleh Radio.co tahun 2024, lebih dari 50% pendengar menyebut “koneksi dengan komunitas dan penyiar” sebagai alasan utama mereka mendengarkan radio.
Contohnya, ketika penyiar berbagi kisah pribadinya, pengalaman masa kecil, atau pendapat jujur tentang isu lokal—itu menciptakan ruang keterikatan yang tak tergantikan oleh mesin. Banyak pendengar setia mengikuti penyiar favorit mereka meski pindah stasiun, seperti halnya Shaun Keaveny yang tetap diikuti penggemarnya setelah keluar dari BBC 6music dan mendirikan stasiun sendiri.
Apakah AI Menghapus Penyiar Manusia?
Tidak sepenuhnya. Meski RadioGPT menawarkan efisiensi dan kemampuan teknis luar biasa, banyak pakar industri percaya bahwa masa depan radio justru akan menggabungkan kekuatan manusia dan AI.
AI bisa membantu penyiar menyiapkan konten, menyusun skrip cepat, bahkan mengelola distribusi konten digital. Namun, untuk membangun loyalitas pendengar, menyampaikan cerita bermakna, dan menghadirkan suara autentik—penyiar manusia tetap tak tergantikan.
Tantangan Etis dan Budaya
Penggunaan AI di dunia siaran juga menimbulkan berbagai pertanyaan:
- Siapa yang bertanggung jawab jika AI menyampaikan informasi keliru?
- Apakah penyiar manusia akan kehilangan pekerjaan?
- Bagaimana dengan nilai budaya lokal yang sulit dipahami AI global?
Regulasi, kebijakan etik, dan literasi media menjadi penting dalam menghadapi perkembangan ini. Pemerintah dan industri harus segera merumuskan pedoman penggunaan AI dalam penyiaran, agar inovasi tidak menggusur prinsip kemanusiaan dalam media.
AI Memudahkan, Bukan Menggantikan
RadioGPT membuka babak baru dalam industri penyiaran, menghadirkan efisiensi, kecepatan, dan kemampuan distribusi digital yang mengesankan. Namun, esensi radio sebagai media yang hidup dari interaksi manusia, kejujuran suara, dan kedekatan emosional masih jauh dari tergantikan.
Penyiar radio bukan sekadar pembaca naskah. Mereka adalah sahabat di balik speaker, suara yang menemani saat macet, penenang di waktu malam, dan suara nyata di tengah hiruk-pikuk dunia digital. AI mungkin bisa meniru suara manusia—tetapi belum bisa menggantikan hatinya.






