Presiden FDR Harley Prayudha mengenai visi besar radio Indonesia. Di tengah digitalisasi, ia menyerukan radio harus bertransformasi menjadi Arsitek Audio dan penyedia solusi Integrated Campaign Berbasis Data untuk mencapai model bisnis yang berkelanjutan.
Radio bagi sebagian besar masyarakat Indonesia adalah teman setia. Radio menemani perjalanan pagi, menjadi latar belakang obrolan santai di sore hari, dan memberikan vibe yang khas.
Namun, di era streaming digital, peran sentimental ini saja tidak lagi cukup. Stabilitas finansial dan relevansi industri membutuhkan fondasi yang lebih kuat.
Inilah pesan sentral yang dibawa oleh Presiden FDR Harley Prayudha dalam FDR SUMMIT JAKARTA ke-18. Dengan tema tegas “RADIO IS NOT JUST A VIBE, IT’S A BUSINESS,” forum ini menyerukan agar radio Indonesia segera ‘pindah bab‘ dan menanggalkan keraguan.
Presiden FDR Harley Prayudha memaparkan visi transformatif: radio harus menjadi Arsitek Audio Penyedia Solusi Integrated Campaign Berbasis Data. Visi ini bukan hanya ambisi, melainkan sebuah tuntutan yang tak terhindarkan.

Babak Baru Industri: Pergeseran dari Vibe ke Value
Kita semua sepakat bahwa radio memiliki kekuatan konten dan komunitas yang luar biasa itulah yang kita sebut vibe. Namun, digitalisasi telah mengubah peta persaingan. Presiden FDR Harley Prayudha menegaskan bahwa poin paling krusial yang ingin ditekankan oleh FDR SUMMIT ke-18 adalah pergeseran fokus dari hanya sekadar konten dan komunitas menjadi model bisnis yang berkelanjutan dan profesional.
“Poin paling krusial yang ingin ditekankan oleh FDR SUMMIT Jakarta ke-18 melalui tema “RADIO IS NOT JUST A VIBE, IT’S A BUSINESS” adalah pergeseran fokus dari hanya sekadar konten dan komunitas menjadi model bisnis yang berkelanjutan dan profesional” ujar Harley Prayudha
Pergeseran ini adalah pengakuan bahwa loyalitas pendengar harus diimbangi dengan strategi monetisasi yang cerdas. Tanpa kemampuan untuk mengkonversi vibe menjadi value bisnis yang nyata, industri radio berisiko tergerus.
Tugas radio sekarang adalah bukan hanya menjaga suasana, melainkan menciptakan struktur bisnis yang kuat yang dapat menopang dan membiayai vibe yang otentik itu sendiri. Pemikiran ini menjadi landasan kuat bagi setiap stasiun, baik yang ada di kota besar maupun stasiun lokal.
Transisi Krusial: Dari Frekuensi ke Followers
Tantangan terbesar bagi radio adalah bagaimana tetap relevan di tengah fragmentasi audiens. Pendengar tidak hanya terbagi antar stasiun, tetapi juga terfragmentasi ke berbagai platform on-demand seperti Spotify, YouTube Music, dan ribuan podcast independen.
Presiden FDR Harley Prayudha menyebut langkah ini sebagai transisi dari “frekuensi ke followers,” yang merupakan langkah kunci agar radio tetap berkelanjutan.
“Transisi dari “frekuensi ke followers” adalah langkah kunci agar radio tetap relevan dan berkelanjutan di era digital. Ini bukan berarti meninggalkan frekuensi, melainkan memperluas ekosistem pendengar dari audiens yang terikat pada gelombang udara (frekuensi) menjadi komunitas yang terlibat secara aktif di berbagai platform digital (followers)” tambahnya
Presiden FDR Harley Prayudha menjelaskan bahwa transisi ini bukan berarti meninggalkan frekuensi, melainkan memperluas ekosistem pendengar dari audiens yang terikat pada gelombang udara menjadi komunitas yang terlibat secara aktif di berbagai platform digital.
Artinya, radio harus menjadi multi-platform player. Kekuatan siaran on-air harus dimanfaatkan untuk mendorong engagement di media sosial, membangun basis followers yang loyal, terukur, dan akhirnya, dapat dimonetisasi. Inilah cara radio memastikan kontennya menjangkau Generasi Z tanpa mengorbankan pendengar setianya.
Pertarungan Relevansi dan Kebutuhan Data
Presiden FDR Harley Prayudha menggunakan metafora yang menarik untuk menggambarkan posisi industri saat ini. Jika perjalanan panjang radio Indonesia diibaratkan sebagai sebuah buku yang berlanjut, saat ini radio berada di “Bab 4: Transformasi Digital dan Pertarungan Relevansi (The Pivot).”
“Jika kita ibaratkan perjalanan panjang radio Indonesia sebagai sebuah buku yang berlanjut, saat ini radio berada di “Bab 4: Transformasi Digital dan Pertarungan Relevansi (The Pivot)” Radio telah melalui bab-bab sebelumnya: Bab 1 (Masa Emas Siaran dan Komunitas), Bab 2 (Dominasi TV dan Tantangan Baru), dan Bab 3 (Adaptasi Awal ke Internet). Dan sekarag Bab 4 ditandai Perjuangan untuk menyeimbangkan akar (frekuensi dan local relevance) dengan tuntutan teknologi global (on-demand, visual, data)” kata Harley
Bab ini ditandai dengan perjuangan yang berat: menyeimbangkan akar radio (frekuensi dan local relevance) dengan tuntutan teknologi global (on-demand, visual, data). Dalam bab ini, vibe saja tidak cukup; business membutuhkan data yang kuat.
Kesadaran ini, menurut Presiden FDR Harley Prayudha, adalah hal yang membedakan radio yang akan bertahan dan yang akan menjadi relic of the past. Keputusan kolektif di summit ini adalah tentang menentukan arah di Bab 4 yang kritis ini.
Radio sebagai Penyedia Solusi Integrated Campaign
Di mata pengiklan dan brand, radio harus mengubah tawaran jualnya. Harapan utama dari FDR SUMMIT ke-18 adalah agar industri radio dapat mentransformasi dirinya menjadi penyedia solusi Integrated Campaign yang berbasis data dan multi-platform.
Presiden FDR Harley Prayudha menekankan bahwa klien modern tidak lagi sekadar membeli spot iklan 30 detik; mereka mencari solusi pemasaran terpadu yang menjangkau konsumen di mana pun mereka berada:
- On-Air: Jangkauan luas dan kredibilitas.
- Digital Ads: Targeting presisi kepada followers di media sosial dan streaming platform.
- On-Ground & Social Shopping: Aktivasi offline yang terintegrasi dengan penjualan digital.
Inilah pergeseran inti dalam model bisnis: dari Jual Waktu Siar Massal menjadi Jual Targeting Presisi berbasis Data AI. Radio harus mampu membuktikan Return on Investment (ROI) kepada klien dengan data yang kuat, mengamankan investasi yang lebih besar dan berkelanjutan.
Inovasi Radikal: AI dan Audio yang Sangat Personal
Lantas, inovasi game changer apa yang akan mendorong transformasi ini? Presiden FDR Harley Prayudha menyoroti fokus pada inovasi yang menghubungkan teknologi AI/Data dengan Hyper-Local Content dan Monetisasi Personal.
Inovasi paling radikal adalah Hyper-Personalized Audio Feeds (Radio Berbasis AI). Inovasi ini mengubah radio dari siaran yang seragam (broadcast massal) menjadi layanan audio yang unik untuk setiap pendengar.
AI akan digunakan untuk mengkurasi musik, berita, dan bahkan iklan berdasarkan preferensi, lokasi, dan mood pendengar saat itu. Ini adalah evolusi dari radio konvensional ke platform audio yang adaptif.
Selain itu, FDR SUMMIT juga mendorong The Talent-Led Audio Entrepreneurship. Presiden FDR Harley Prayudha melihat pergeseran nilai bisnis: dari Karyawan Stasiun ke Mitra Bisnis & Konten Kreator Mandiri. Penyiar dan kreator konten radio didorong menjadi audio entrepreneur yang monetisasinya dapat dilakukan melalui:
- Digital Ads yang ditargetkan pada konten mereka.
- Komisi penjualan (Media sebagai Sales Channel) melalui Audio-Visual Commerce dan Social Shopping.
Ini adalah cara radio memanfaatkan kredibilitas talent mereka untuk menciptakan saluran penjualan langsung.
Komitmen Kolektif: Menjadi Arsitek Audio Utama
Setelah 18 kali penyelenggaraan, FDR SUMMIT kali ini harus menghasilkan komitmen yang bersifat transformatif dan mengikat. Presiden FDR Harley Prayudha menegaskan bahwa komitmen yang diharapkan adalah agar industri radio Indonesia sepakat untuk menjadi Arsitek Audio masa depan, bukan hanya penyiar musik dan berita.
Ini adalah komitmen kolektif yang mencakup tiga plot twist utama:
- Kurasi Cerdas: Radio menggunakan AI untuk mengkurasi solusi audio personal, melampaui sekadar ‘memutar’ konten.
- Jembatan Kredibel: Radio menjadi jembatan kredibel antara siaran langsung (interaksi real-time) dan konten on-demand (podcast atau playlist unik).
- Efektivitas Iklan: Radio menjadi platform yang dapat menawarkan solusi iklan yang sangat bertarget dan efektif, didukung data kuat.
FDR SUMMIT ke-18 diharapkan menjadi momen di mana radio Indonesia, dengan percaya diri dan didukung oleh data, secara kolektif mengakhiri masa Bab 4 yang penuh keraguan, dan mengambil peran sebagai Arsitek Utama Lanskap Audio Indonesia di Bab 5. Inilah visi yang dibawa oleh Presiden FDR Harley Prayudha untuk masa depan media paling intim ini.
Dari Getaran Hati ke Getaran Data
Masa depan radio bukan lagi tentang survival, melainkan tentang relevance dan growth. Seruan Presiden FDR Harley Prayudha jelas: radio harus memadukan kekuatan vibe yang emosional dengan ketajaman value yang berbasis data.
Dengan bertransformasi menjadi Arsitek Audio yang mampu menyediakan solusi Integrated Campaign, radio membuktikan bahwa ia tidak hanya layak didengarkan, tetapi juga layak diinvestasikan.
Transformasi ini menjamin bahwa radio akan terus menjadi teman setia, bukan sebagai peninggalan masa lalu, melainkan sebagai pelopor masa depan audio.
Kesadaran bahwa vibe saja tidak cukup; business membutuhkan data yang kuat. Bab ini adalah masa kritis, di mana radio harus menentukan apakah ia akan menjadi relic of the past atau pioneer of the future audio.






