Berani Berubah: Pelajaran dari Jeff Bezos untuk Masa Depan Radio jadi topik penting yang wajib dipahami di tengah tantangan digitalisasi media. Siapa Jeff Bezos? Pendiri Amazon, pengusaha teknologi paling visioner.
Apa yang dia lakukan? Pada tahun 2013, ia membeli The Washington Post, media cetak yang saat itu sedang meredup. Kapan itu terjadi? Ketika koran dianggap usang, iklan cetak anjlok, dan pembaca pindah ke platform online.
Dimana dampaknya terasa? Di seluruh industri media, dari Amerika hingga ke Indonesia. Kenapa langkah ini penting? Karena ia membuktikan bahwa media tradisional bisa hidup kembali dengan inovasi digital. Lalu bagaimana radio bisa belajar dari langkah Bezos?
Saat Koran Nyaris Mati, Bezos Melangkah Berani
Tahun 2013, industri surat kabar dianggap dalam titik kritis. Orang lebih suka baca berita online, dan pendapatan dari iklan terus menurun. Tapi Bezos melihat potensi tersembunyi. Ia tak melihat koran sebagai produk cetak semata, tapi sebagai pilar demokrasi yang layak diselamatkan.
Melalui teknologi dan pendekatan data, ia menyelamatkan The Washington Post. Fokusnya bukan lagi pada cetak, tapi distribusi digital yang cepat, luas, dan efisien. Hasilnya? Dalam waktu singkat, The Post kembali relevan dan menghasilkan keuntungan.

Jawabannya ternyata sederhana tapi dalam. Di mata Bezos, The Washington Post bukan cuma koran. Itu adalah pilar penting demokrasi.
Koran ini punya peran menjaga suara rakyat, mengawasi kekuasaan, dan jadi tempat orang mencari kebenaran. Bezos yakin, koran ini bisa diselamatkan. Ia percaya teknologi dan internet bisa jadi kunci untuk menghidupkan kembali media tradisional.
Bezos bilang, “Internet itu kasih kita peluang distribusi global gratis. Saya yakin kita bisa bikin model bisnis baru yang mendukung jurnalisme berkualitas.”
Kenapa Bezos nekat beli koran yang sedang turun pamor?
Pertama, dia percaya bahwa media seperti The Washington Post adalah penjaga demokrasi. Media ini punya tugas sosial, bukan cuma urusan bisnis.
Kedua, Bezos jago lihat peluang. Di era digital, berita nggak perlu lagi dikirim pakai truk atau pesawat. Cukup internet, orang dari mana saja bisa baca.
Ketiga, dia ingin mencoba model bisnis baru: bukan mengandalkan penjualan cetak, tapi pendapatan dari pembaca digital, iklan online, dan langganan premium.
Setelah koran itu dipegang Bezos, banyak yang berubah. The Washington Post jadi lebih modern. Fokusnya ke digital: website-nya makin canggih, aplikasinya ramah di HP, tampilannya kekinian, dan kecepatan aksesnya luar biasa. Timnya juga pakai data untuk tahu apa yang disukai pembaca. Hasilnya luar biasa. Pembaca online naik pesat. Koran ini yang tadinya merugi akhirnya bisa untung.
Tapi cerita ini nggak berhenti di situ. Awalnya, Bezos nggak ikut campur soal isi berita. Dia biarin jurnalis bekerja profesional.
Tapi sejak 2024, Bezos mulai terjun langsung ke urusan opini. Dia hentikan dukungan politik editorial dan mulai mendorong nilai-nilai ideologi pribadinya, seperti nilai libertarian.
Hal ini bikin tim opini bergejolak. Banyak penulis yang mundur, pembaca setia kecewa, bahkan ratusan ribu orang berhenti berlangganan. The Washington Post yang tadinya bangkit, justru mulai kehilangan kepercayaan publik.
Radio Harus Berani Bertindak Seperti Bezos
Industri radio kini berada di posisi yang mirip dengan koran di masa lalu. Pendengar beralih ke Spotify, podcast, YouTube. Iklan ikut migrasi. Tapi justru di tengah krisis ini, peluang besar menanti—kalau berani berubah.
Di sinilah pelajaran besar buat kita, terutama industri radio. Radio hari ini ada di posisi yang nggak jauh beda dengan koran waktu itu. Dulu radio jadi raja. Sekarang, banyak orang mulai beralih ke podcast, YouTube, Spotify, dan platform digital lainnya. Pendengar makin sedikit, iklan pun pindah ke media digital. Tapi justru di sinilah peluang besar kalau kita mau belajar dari Bezos.
Radio Bisa Tetap Hidup, Bahkan Berkembang, Kalau Berani Berubah
Caranya? Pertama, radio harus peluk teknologi. Jangan cuma ngandelin frekuensi udara, tapi juga hadir di aplikasi, platform streaming, smart speaker kayak Alexa dan Google Home. Jadikan radio bukan sekadar suara di udara, tapi juga hadir di dunia digital.
Kedua, radio harus makin dekat dengan pendengar. Kekuatan radio ada di konten lokal. Pakai bahasa dan budaya yang dekat dengan audiens. Radio harus jadi teman ngobrol, bukan cuma tempat muterin lagu.
Ketiga, model bisnis juga harus diperbarui. Jangan cuma ngandelin iklan spot. Coba bikin program sponsor, konten berbayar, atau event hybrid yang bisa dinikmati online dan offline.
Keempat, yang paling penting: jangan kehilangan kepercayaan pendengar. Radio harus tetap independen. Jangan biarkan sponsor atau pemilik ngatur isi siaran seenaknya. Pendengar sekarang pintar, mereka bisa ngerasa kalau radio sudah nggak jujur atau berat sebelah.
Kelima, radio harus terus dengar apa maunya audiens. Jangan ngotot dengan ide sendiri, tapi dengar masukan, lihat tren, dan uji coba program baru. Jadikan pendengar bukan cuma penonton, tapi bagian dari radio itu sendiri.
Jadi, kalau mau tetap eksis, radio harus berani seperti Jeff Bezos: ambil langkah berani, manfaatkan teknologi, bikin terobosan, tapi tetap pegang teguh prinsip.
Jangan sampai seperti Bezos di tahap akhirnya, yang karena terlalu ikut campur soal isi, malah kehilangan kepercayaan audiensnya.
Kisah Bezos kasih pesan penting: media tradisional bisa hidup lagi kalau mau berubah. Tapi kekuatan besar harus dipakai dengan bijak. Radio punya peluang luar biasa kalau mau bergerak cepat dan tepat.
Kalau kita terus bertahan di zona nyaman, siap-siap jadi penonton di zaman yang berubah cepat ini. Tapi kalau kita berani ambil langkah baru, radio bukan cuma bertahan, tapi bisa kembali jadi raja di era digital.
Penulis : Denny Sompie - Vice Presiden FDR Indonesia
Editor : Regi
Sumber Berita: Amazon Unbound: Jeff Bezos and the Invention of a Global Empire. Simon & Schuster, 2021. - Farhi, Paul. “Jeff Bezos buys The Washington Post.” The Washington Post, 5 Agustus 2013.






